Menilik (Lagi) Bahaya Laten Match-Fixing

Lintasgoal.com-JAKARTA - Bukti pengaturan skor di 680 pertandingan Eropa yang sudah teridentifikasi Interpol dan europol, jadi ancaman tersendiri bagi sepakbola Indonesia. Apalagi sindikat mafia match-fixing itu diketahui berbasis di Singapura, salah satu negara tetangga Indonesia.

Gejala-gejala itu pun sudah mulai nampak dengan isu-isu suap yang sebenarnya sudah merajalela di sepakbola Indonesia sejak era perserikatan. Jelas ini harus jadi perhatian serius, selain menyoroti konflik dualisme PSSI dan kompetisi yang ada sekarang.

Dari berbagai riset yang ada, kemungkinan itu hampir nyata lantaran gejala-gejala pengaturan skor sudah terlihat di Indonesia. Ini jadi racun yang tentu harus diberantas, tak hanya federasi (PSSI) sebagai penindaknya, tapi juga mesti ada kerja sama dengan pihak pemerintah.

“Ada jaringan yang mengatur klub untuk juara. Untuk mencegah ini butuh kerja sama dengan pemerintah. Mereka yang sudah teridentifikasi Interpol itu dari Singapura dan Eropa. Ini jadi bahaya serius, tapi lolos dari sorotan pemerintah,” ujar Michael Pride, Sport Data Regional Investigator South East Asia.

“Skandal seperti ini bisa jadi racun baru tapi belum ada tindakan tegas. Contohnya kasus pemain Persiba, (Mahmoud) El Ali. Dia sudah dihukum seumur oleh federasi Lebanon karena kasus pengaturan skor. Tapi di sini masih bermain. Harusnya ada tindakan, baik itu pendeportasian atau pemutusan kontrak,” lanjutnya.

Tanda-tanda skandal ini sudah terlihat dari maraknya kasus suap. Apung Widadi dari SOS (Save Our Soccer) mengungkapkan, faktor-faktor itu sudah lama ada sejak era 80an dan yang terkenal kasus “sepakbola gajah.”

“Kasus sepakbola gajah itu jadi success story tentang pemberantasannya. Tapi semakin ke sini (era 2000an) mulai terputus. Di tahun 1980an, faktornya karena gaji pemain dan wasit yang masih rendah. Kemungkinan pengaturan skor bermainnya di situ. Di era 90an, gaji pemain membaik tapi wasit masih rendah. Permainan itu pun terjadi di sektor perwasitan,” papar Apung.

“Nah, di era 2000an, gaji pemain dan wasit sudah baik, tapi permainan suap sudah menjangkau aktor-aktor di jajaran klub. Sebenarnya ini bisa ditegakkan dengan Undang-Undang No.11 tahun 1980 tentang suap yang dirancang Menteri Kehakiman waktu itu, Mudjono,” lanjutnya.

“Cerita sukses lainnya juga diungkap Ketua Umum PSSI tahun 80an, Kardono yang membongkar suap 11 pemain PSMS Medan saat Marah Halim Cup 1988. Mereka kena denda 15 juta dengan vonis percobaan,” tambah Apung lagi.

Yang jelas, putusnya penindakan dan pencegahan kasus suap didalangi pula oleh mafia yang kuat. Sindikat itu lah yang disinyalir kuat melindungi, mendesain dan sengaja memutus upaya tersebut. Begitupun yang terjadi di negara-negara lain. Salah satu contoh kecilnya dengan ancaman yang diberikan sindikat terharap para pelaku jika berani melaporkan atau tak lagi menjadi “antek” pengaturan skor serta suap.

“Para pemain, wasit, klub sampai pejabat, tidak berani untuk melapor atau menghentikannya. Mereka takut ancamannya, baik itu teror bahkan bisa ancaman pembunuhan,” imbuh Pride.